Rabu, 04 Desember 2019

Medium Account

Due to several things I finally made a Medium account and will be write more there (I hope so). Visit my Medium here!

Jumat, 11 Oktober 2019

Nags : Fatigue

Reading several last posts in my blog, I realize that I nagged so much these month, haha. Things come and go so fast until I'm sure no one has my whole story of everything that happened to me these days. Remembering that I always update my story to a person that I believe so much, enough describing how fast things change. To me who is not that flexible to changing, these moments can be so stressful.

Sometimes I can be so bothered about the reason why things around me happened. For example, when I feel uncomfortable in my society, I ask myself why people can be so unaware to the person near them. How could they don't care, why so self-centered. Things are so distracting these times. Like, when I'm still in my preparation for several things, world keeps rushing me and when I think I'm ready, everything's went away; like, why it's happened, and what Allah is trying to say to me.

As a person who often listen stories from people, I get to know more why people can be so annoyed only because of things that we think unimportant; because it's not that easy to be objective to see our own problems. Suatu masalah akan berbeda apabila dilihat dari orang yang mengalami dan orang yang mengamati. I once read, kita membutuhkan orang lain untuk menjadi mata elang dan melihat masalah kita dari ketinggian; dari sudut pandang yang lebih luas. Sedangkan, kita berada di dalam kondisi yang sulit untuk melihat sesuatu dengan lebih komprehensif. From that, we should know that sometimes we need another perspective to see our problem. The most important thing for me, is to take a break from thinking the problem, so we can think about it clearer. Sometimes, I hate myself for being too emotional, because it was so tiring (which not all of my friend realize that I can be that way). But now, I can accept myself more for being emotional because it's normal to be one in several conditions, denying it will make us stressful instead, as long as we got the line.

I'm not sure what I'm trying to say, but; good luck, self!

Sabtu, 05 Oktober 2019

Tentang Perfeksionisme

Kemarin, saya membaca Instastory dari salah seorang penulis favorit saya, Urfa Qurrota Ainy, mengenai perfeksionisme. Saya jadi ingat saat di mana saya banyak melakukan screening untuk organisasi di kampus. Saya melihat bahwa di mata teman-teman saya yang juga melakukan screening, perfeksionisme ditangkap senagai sebuah sifat dengan konotasi negatif. Mereka yang menggambarkan dirinya dengan sifat perfeksionis dianggap sebagai orang yang selalu menuntut kesempurnaan, tidak mudah diberi saran, dan egois pada orang lain. Padahal, menurut saya pribadi menuntut kesempurnaan dan egois adalah dua variabel berbeda. Setelah membaca Instastory tersebut, saya menjadi semakin menyadari bahwa memang, sifat apapun pasti memiliki dua kutub, jika terlalu sedikit atau terlalu banyak dapat menjadi negatif, termasuk pada sifat-sifat yang memiliki konotasi positif sekalipun. Baik misalnya, terlalu baik juga ditangkap sebagai sifat yang cenderung negatif bukan? Kadangkala, perfeksionisme hanya memerlukan wadah yang tepat. Urfa mencontohkan bahwa editor buku misalnya, memerlukan sifat perfeksionis tersebut. Jika tidak, tentu hasil pekerjaannya tidak akan begitu baik. Hm,jadi tertarik untuk terjun sebagai editor buku. Begitu pula dengan profesi lain seperti akuntan, graphic designer, dll.

Saya baru sadar beberapa tahun belakangan ini bahwa saya memiliki sifat perfeksionis dan bahkan telah menumbuhkannya sejak kecil. Ketika saya duduk di kelas 3 SD, saya sering menyobek buku tulis sekolah saya ketika tulisan saya jelek, karena meskipun tulisan tersebut sudah dihapus dengan penghapus, akan tetap menimbulkan bekas pensil. Saya tidak suka dan saya menganggap itu jelek, jadi saya menyobeknya, haha. Pun ketika memasuki kehidupan kampus, saya cenderung mengisi posisi yang mengerjakan pekerjaan administratif dan kesekretariatan organisasi (yang mungkin) karena sikap perfeksionis tersebut. Namun pada beberapa hal, orang lain justru menganggap saya sangat toleran. Saya pun menyadari sifat toleran saya adalah pada orang lain, bukan diri saya sendiri. Saya menganggap kesalahan adalah hal yang wajar untuk dilakukan orang lain sebagai proses belajar. Namun, untuk diri saya sendiri, seringkali saya merasa bahwa salah itu sebisa mungkin sangat harus dihindari. Butuh beberapa waktu untuk saya bisa berdamai dan menakar perfeksionisme yang saya miliki dalam ukuran yang pas agar tidak menyusahkan diri sendiri maupun orang lain.

KIta kembali lagi pada pendapat klasik yang ternyata tidak semua orang bisa memahaminya dengan baik, bahwa kelebihan adalah juga sebuah kekurangan, dan kekurangan adalah sebuah kelebihan yang tersamarkan. Boleh jadi, orang pandai adalah orang yang bisa memahami kekurangannya. Namun, orang hebat adalah orang yang mampu menjadikan kekurangannya sebagai sebuah kekuatan. Coba beri ruang yang tepat, bisa jadi sifat yang kita anggap sebagai kekurangan itu justru menjadi kekuatan kita.

Another thought :
Rasanya, perfeksionisme tidak selalu identik dengan rapi, teliti, dan detail. Ketika perfeksionisme dianggap sebagai sebuah paham untuk menjadikan segala sesuatunya sempurna, kita perlu mengingat bahwa standar sempurna setiap orang berbeda-beda. Jadi, belum tentu orang yang sama-sama perfeksionis pasti dapat selalu bekerja sama dengan baik. CMIIW.

Jumat, 04 Oktober 2019

Being a Kindergarten Teacher : #1 Sparks

Bulan Oktober ini, memasuki bulan ke tujuh saya bekerja di taman kanak-kanak sebagai guru kelas. Lebih tepatnya, saya menjadi partner-teacher atau partner dari wali kelas (setiap kelas diajar oleh dua guru). Untuk pembelajarannya sendiri, sekolah kami menggunakan sistem sentra. Jadi, selain pembelajaran di kelas, ada pula sesi untuk sentra tersebut. Singkatnya, sentra merupakan sistem moving class di mana anak-anak berpindah sentra setiap harinya. Setiap sentra memiliki karakteristik dan fokus tersendiri dan dipegang oleh satu guru. Misalnya, sentra kisah, sentra kreasi, sentra alam raya, sentra atletik, dan lain-lain. Saya sendiri memegang sentra anak shalih yang cenderung berfokus pada nilai agama dan moral, yang tetap didukung oleh aspek-aspek perkembangan yang lain, yaitu fisik motorik, kognitif, bahasa, seni, kognitif, dan sosio-emosional. Banyak hal-hal ajaib yang saya alami setiap harinya semenjak hari pertama saya bekerja di taman kanak-kanak. Mulai dari murid yang menempel pada saya sejak hari pertama dan hingga kini selalu memeluk saya setiap kali kami berpapasan, hingga civil war yang sering terjadi saat pembelajaran di kelas. Iya, civil war. Hampir setiap hari selalu ada siswa yang menangis, entah karena dipukul teman, atau memang sedang cranky...

Saya teringat salah satu foto yang diunggah oleh dosen pembimbing skripsi saya di Instagramnya. Di sana, beliau menceritakan bahwa profesi pertamanya adalah menjadi guru taman kanak-kanak. Fyi, beliau adalah dosen dan psikolog di bidang psikologi perkembangan yang juga berfokus pada studi inklusivitas kampus. Mengetahui bahwa ternyata beliau juga memilih guru taman kanak-kanak sebagai profesi pertamanya, membuat saya semakin bersemangat mencari ilmu dan terinspirasi oleh beliau, plus menjadi bangga akan pekerjaan saya saat ini. Diantara stigma mengenai lulusan Psikologi yang (hanya) menjadi seorang guru taman kanak-kanak (entah stigma itu memang ada atau hanya di kepala saya saja), hal tersebut menjadi motivasi tersendiri.

Salah satu hal yang menjadi perhatian saya saat ini adalah bagaimana untuk menjaga diri agar saya tidak berangsur-angsur menjadikan aktivitas mengajar ini sebagai sebuah rutinitas saja, yang akhirnya saya lakukan sebagai sebuah formalitas saja; yang penting selesai. Namun, menjadikannya sebagai hal yang menyenangkan dan memunculkan sparks tersendiri setiap saya melakukannya. Ketika di kampus, kegiatan mengajar menjadi semacam rehat dari kesibukan akademik dan hiruk pikuk organisasi. Namun, ketika mengajar itu sendiri sudah menjadi sebuah profesi, rasanya berbeda. Saya sendiri menyadari bahwa secinta apapun kita pada suatu hal, ada kalanya hal tersebut menjadi menjemukan atau melelahkan. Namun, bagaimana caranya agar kita bisa menemukan penawar ketika perasaan jemu atau lelah itu muncul.
"I believe a lot of our lives are spent asleep, and what I've been trying to do is hold onto those moments when a little sparks cuts through the fog and nudges you." - Rufus Wainwright.
Seperti yang pernah saya tulis di akun Instagram saya, salah satu alasan saya memilih mengajar di taman kanak-kanak sebagai profesi pertama saya adalah karena saya menemukan banyak insight ketika berinteraksi dengan anak-anak (selain karena memang banyak hal yang bersinggungan antara psikologi perkembangan dan pendidikan anak usia dini). Dengan kata lain, banyak momen eureka yang terjadi ketika saya berinteraksi dengan mereka. Entah ide abstrak yang tiba-tiba muncul, atau pembelajaran hidup maupun akademik yang terlintas di pikiran saya. Saya banyak belajar. Selain itu, mengajar anak-anak adalah proses menanam. Banyak hal yang bisa kita tanam terlepas dari pembelajaran yang memang tercantum di kurikulum, banyak hal yang akan terinternalisasi dalam diri mereka hingga mereka dewasa, tanpa mereka menyadarinya. Rasanya pasti menarik jika bisa mengetahui ketika besar nanti mereka akan menjadi apa dan bagaimana. Namun, hal ini menjadi ancaman sekaligus tantangan tersendiri, karena kita selalu dilihat oleh puluhan bahkan ratusan anak-anak yang merekam setiap gerak-gerik dan kata-kata kita setiap detiknya, dan bisa saja berefek kepada mereka secara permanen. Memang yaaa, dealing with kids is no easier than dealing with adults.

Semoga kita semua bisa selalu belajar dari segala aktivitas kita, dan tidak hanya terhanyut dalam rutinitas. I think I found one of mine. And you, have you find thing that spark a light in you?

Minggu, 25 Agustus 2019

Akan Baik-Baik Saja

Hai kamu, sini —mendekatlah. Saat kamu sedang merasa tidak begitu baik, atau sebut saja; tidak baik. Duduk sebentar, biar kuberitahu beberapa hal.

Bahwa menerima memang tidak pernah semudah mengatakannya. Mengalaminya berkali-kali pun tidak selalu membuat semua menjadi lebih mudah. Tidak perlu selalu dengar apa kata orang. Mereka tahu apa.

Bahwa jika kamu sudah lelah menghibur diri sendiri, tidak apa-apa untuk merasa sejenak, meskipun terkadang kamu berpikir bahwa terlalu banyak merasa itu tidak baik. Seperti halnya kamu bersykur atasnya, kamu boleh merutuki hidup sesekali; sesekali saja ya, jangan terlalu banyak. Semoga kamu selalu ingat akan hal-hal baik yang hinggap di pundakmu setiap harinya.

Bahwa kamu bisa melarikan diri kapanpun kamu mau. Kamu juga bisa kembali ketika kamu siap. Tapi jangan lupa, tinggalkan sedikit pesan agar orang-orang terdekatmu tahu kemana harus mencarimu. Kamu bisa meletakkannya dimanapun; terang-terangan di atas meja dengan namamu di bawahnya atau sedikit tersembunyi di antara lembaran buku yang kamu suka.

Bahwa jika kamu tidak pernah bisa menemukan tempat yang terasa seperti rumah, kuberitahu satu hal; seorang pelaut bisa merasa pulang di tengah samudra yang asing dan luas sekalipun.

Kali ini, untuk kali ini; kamu boleh merasakan semuanya. Kamu boleh berbohong soal apa yang kamu rasakan kepada mereka. Tapi jujurlah pada dirimu sendiri, paling tidak; pada catatan kecilmu, pada sudut-sudut rahasiamu, atau pada kata-kata dalam hatimu.

Hidup memang tidak pernah semudah kelihatannya. Kita siapa? Cuma manusia. Namun, aku yakin; aku, kau, dan kita akan baik-baik saja.